Skip navigation

Hujan begini. Kau mengeluh. Pusing, katamu. Kau terlalu lelah, mungkin.

Aku ingin berlari menujumu. Menyiapkan sarapan. Menyeduh teh hangat. Memijat pundakmu. Menyelimuti tubuhmu. Berbaring di sisimu. Lalu, melingkarkan lenganku untuk menghangatkanmu.

Mas… Aku kehabisan kata. Hanya ingin memelukmu. Saja.

Malam itu, turun dari taksi, kita menyebrang menuju stasiun Jatinegara. Tanganmu meraih tanganku, tapi kau malah menggenggam angin. Aku refleks menjauhkan tanganku. Maaf, aku kaget ketika itu. Jantungku berdetak kencang sampai-sampai aku takut suaranya terdengar olehmu. Namun, beberapa detik kemudian, kubuka jemariku dan kuraih tanganmu. Lalu, kau menuntunku melewati ramai kendaraan sampai kita akhirnya mencapai gerbang stasiun. Ada lega bercampur tak percaya karena telah kubiarkan kau menggenggam tanganku.

Aku tak banyak bicara malam itu, Mas. Kau ingat? Bukan karena tak punya cerita, tapi karena aku terlalu sibuk meredam bising dalam dadaku. Gegap dalam jantungku malah kian bergemuruh saat kita duduk bertemu pundak di lantai stasiun, menunggu keretamu.

Perlahan, satu kesadaran menyelinap dalam benakku. Malam itu, di stasiun Jatinegara, aku membiarkan diriku mempercayakan hidup padamu.

I trust you.

That’s why I let you hold my hand.

That’s why I let you in to my life.

Mas,

Kamu terus diam. Aku hampir gila. Dalam 24 jam, cuma beberapa jam waktuku yang terlewati tanpa tangis.

Aku mungkin rapuh, tapi bukan berarti kau sentuh sedikit aku jatuh. Aku lebih kuat dari yang kau pikir, Mas. Tangisku ini bukan tanda kelemahan. Ini cuma satu bentuk emosiku saja yang tumpah tidak tertahan.

Aku kaget bercampur sedih, kecewa, juga marah ketika membaca pesan singkatmu tadi pagi. Aku tak pernah menyangka pikiran seperti itu bersarang di benakmu. Tak pernah setitik pun aku berpikir buruk tentangmu. Aku sangat memujamu, Mas. Tidak kau sadarikah itu?

Aku sayang kamu, Mas. Tapi, cukupkah ini buatmu?

Dear, Mas-nya…

Kamu capek ya, Mas, ngadepin aku? Iya, Mas, aku paham. Aku aja kadang capek kok ngadepin diriku sendiri. Aku gampang banget nangis, memang. Hal remeh yang gak ada artinya di matamu pun bisa bikin aku nangis gak berenti-berenti.

Humm… Iya, Mas, aku gak tau juga gimana ini. Kenapa aku masih mempermasalahkan duri kecil padahal kamu sudah melangkah ke hal yang lebih besar… Apa aku nggak pantes buat kamu, Mas? Atau kamu yang nggak cukup kuat ngadepin aku? Aku nggak tau, Mas.

Yang aku tau, aku mungkin akan mengulangi “kesalahan” ini lagi. Aku mungkin akan mempermasalahkan hal-hal kecil yang lain. Aku juga pasti masih akan menangis lagi. Lalu, apakah kamu sanggup menghadapinya seumur hidupmu, Mas? Apakah kamu akan memelukku tanpa banyak bicara saat aku menangis? Atau kamu hanya akan memperlihatkan punggungmu karena kecewa padaku?

Terserah kamu, Mas. Perasaanku masih sama. Aku. Sayang. Kamu.

Dear @jonathanend,

Err… Jon, Jon, tiap liat twit kamu, saya minimal nyengir, tau. Kamu itu bisa aja ya. Segala hal bisa dibikin lucu. Bahkan waktu lagi ngomong masalah yang [sepertinya] serius pun kamu bisa lucu. Saya pengeeenn…bisa lucu kayak kamu. Ajarin dong, Joooonn… Saya nggak bisa ngelucu. Saya nggak lucu sama sekali, Jooonn… :(( *nangis darah*

Kadang tu ya, Jon, saya udah kepengen nyamber kalo kamu dan temen-temenmu lagi maen apaan gitu di twitter. Tapi ya itu, nggak kepikiran, Jon. Saya nggak tau mau nge-twit apa. Saya bisanya cuma nge-twit hal-hal remeh yang cuma penting buat saya pribadi. Kenapa saya nggak bisa pleset-plesetan, Jon? Padahal, di dunia nyata, saya sering kepleset, kesandung-sandung, jatoh guling-guling… (tuh kan, Jon, padahal saya niatnya ngelucu, tapi nggak lucu kaaann… *nangis darah lagi*).

Kadang, saya iri sama kamu, sama Mol, Luluiii, dan si Ari yang nggak butuh usaha buat ngelucu. Kalian seperti…udah default-nya begitu… World’s so lucky to have you.

You bring laughter to my boring days. And I thank you so much for that… =)

Tadi siang, kamu tanya, kenapa aku suka naik motor sama kamu. Hehe… Kamu pasti udah tau jawabannya kan, Mas? Kamu cuma mau godain aku aja kan? Iya, jawabannya karena aku seneng bisa berada sedekat itu dengan kamu. Puass?? =p

Mas, seandainya perasaan itu bukan benda abstrak, kamu pasti takjub dan terbengong-bengong melihat ‘penampakan’ perasaanku. Aku aja gak kuat kok nahan ini sendiri. Seperti ada yang mau melompat keluar dari dalam tubuhku tiap aku deket kamu, tiap aku denger suaramu, tiap aku mikirin kamu…. Parahnya, gak ada sedetik pun aku gak mikirin kamu. Nggak, Mas…ini bukan gombal. Aku serius *seperti halnya aku serius sama kamu… :lol:*

Kamu tau, sekarang, barisan doaku bertambah. Ada namamu di sana, disertai harapan agar kita bisa segera dipersatukan oleh takdir. Ditambah juga doa agar yang memilikimu merestui kita.

Aku gak mau mikir macem-macem, Mas. Aku sedang amat sangat bahagia sekarang ini, sampai-sampai kadang aku jadi takut. Ada banyak kekhawatiran yang muncul. Tapi, karena kita masih bisa terus berdoa, aku jadi agak tenang sedikit.

Thanks for spending time with me, Masku sayang… Semoga kita bisa menghabiskan sisa hidup ini bersama-sama ya, Mas…

Dear Duwi,

Gue seneng banget liat lu ketawa dan becanda sama Raja, suami lu *hehe… gw masih agak canggung nyebut kata ‘suami’*.

Dulu, waktu lu jadian sama dia, gw gak tau mau komen apa. Gila aja, ekspres banget kan hubungan lu? Berapa hari di Jambi, tau-tau pulangnya lu udah jadian aja ama anak itu. Belum kenal, ralat, nggak kenal, malah. Makin ke sini, gw makin ragu sama laki-laki itu. Beneran gak sih anak ini? Kok kayaknya aneh aja buat gw, Wi. Apalagi, lu sering bilang kalo dia agak terlalu protektif. Kalian juga sering ‘berantem’, selisih pendapat, dan marahan. Tapi, gw seneng banget liat lu kalo kalian lagi akur. Wajah lu bersinar, Wi. Tiap kali nyeritain dia, muka lu lebih terang dari lampu phillips!

Hihi… Gw lebay ya? Bodo ah. Yang jelas, lama-lama, gw malah makin percaya sama elu, sama keseriusan dia. Waktu lu tanya pendapat gw, gw cuma bisa bilang bahwa gw percaya sama elu. Kalo menurut lu, dia yang terbaik buat elu, dia yang bisa bikin lu bahagia, gw percaya. Dan itulah yang jadi doa gw buat elu. Gw sayang elu, Wi. Dan meski gak gw ucapin, gw yakin Raja bisa bikin lu bahagia. Gw udah ikhlas ‘nyerahin’ elu ke Raja.

Semoga kebahagiaan di dunia dan akhirat dikaruniakan buat kalian berdua… =)

p.s. Mas-mas yang kemaren nganterin gw nemuin elu, kalo lu bilang lu bisa liat chemistry and sparks between us, yaaa… itu mungkin karena I’m desperately in love with him… ๐Ÿ˜‰

Hari ini sibuk sekali, tapi aku masih sempat-sempatnya memikirkanmu. Itulah sebabnya beberapa hari ini aku lemot, kerjaanku banyak salahnya, dan ditegur berkali-kali sama si Ibu… =p

Jatuh cinta itu berat ya? Pikiranku penuh sama kamu, sulit untuk menyisakan sedikit saja volume otakku untuk nggak mikirin kamu. Aku norak, memang. Kinda hopeless, ya? Tapi biar deh. Toh udah lama aku nggak mengalami perasaan sekuat ini.

Kemarin malam kamu tanya aku mau apa. Aku nggak mau apa-apa, Mas. Aku cuma mau kamu. Dan ini bukan gombal belaka. I mean every single of my words. Do you want me as much as I want you, that’s what I really want to know…

Aku jatuh padamu lebih dalam dari yang kurencanakan. Aku hampir gila menahan rindu yang makin hari malah semakin bertambah. Tapi aku nggak menyesalinya, Mas. Aku sayang kamu. Sangat.

 

[Surat-surat ini bakal aku kasih liat ke kamu kalau sudah lengkap tiga puluh, Mas. Biar malunya dirapel sekalian =p]

 

Ibu, maafin aku ya. Aku lemot. Salah melulu. Nggak pinter-pinter. Sepertinya kapasitas otakku mengecil. Terlebih sejak aku [mau-maunya] jatuh cinta sama si Mas-nya… =p

Ibu, aku tu suka sedih kalo liat Ibu ditegur sama ibu yang satunya lagi. Aku gak bisa ngapa-ngapain buat bantuin Ibu, soalnya.

Ibu, aku kagum sama Ibu. Dengan beban sedemikian beratnya, Ibu tetep bisa ngurus semuanya. Kerjaan, keluarga, rumah. Nggak ada yang keteteran. Aku salut.

Ibu, tau nggak, tiap aku liat Ibu, aku ingat Mamaku. Jadi, rasanya tiap hari aku pengen meluk Ibu terus. Hihi… Untungnya gak aku lakuin ya, Bu. Kan aneh aja ya kalo aku tiba-tiba meluk Ibu… ๐Ÿ˜†

Ibu, aku gak tau mau nulis apa lagi… Ibu yang sabar ya sama aku…

Hai, kamu yang di sana.

Betah sekali sepertinya. Tak ingin kah menjengukku sekali-sekali? Aku kangen kamu. Ingin sekali lagi menikmati gelap dan ngobrol sampai pagi, berbagi halitosis serta amoniak yang keluar tanpa malu.

Kamu tau, setiap di rumah, aku selalu berharap kamu tiba-tiba menyerbu masuk dan berteriak memanggil namaku. Lalu, bertanya, “Masak apa hari ini, Yuk?”. Jika masakanku terlalu pedas, kamu pun akan langsung mencaci, tapi tetap mengunyahnya tak bersisa. Lain waktu, kamu duduk di sampingku dan bercerita tentang segala yang kau alami hari itu. Lalu, lama-lama, kamu menguap berkali-kali dan akhirnya merebahkan kepala di pangkuanku. Aku rindu sekali padamu, tau…

Aku sedang entah. Seperti lelah digerogoti rindu rasanya. Ingin bertemu kamu tapi masih tak mungkin rupanya.

Bersediakah menungguku di surga-Nya? Bila kehabisan tempat, mungkin kita bisa nongkrong di pinggir jalan menuju surga. Berdoa saja, para malaikat terlalu sibuk mengurusi tetek bengek surga neraka sampai tak lagi sempat memperhatikan kita.

Dan kita pun bisa terus tertawaโ€ฆ

*sebagian pernah diposting di blog saya yg lain

You know, Mas, you are loveable. What’s not to love from you? Kamu tau, Mas, kebaikanmu itu sering disalahartikan oleh banyak perempuan. Mereka jadi salah persepsi dan berharap lebih (iya, termasuk aku =p). Kamu nggak sadar toh? Kamu pasti berpikir bahwa kamu hanya berusaha jadi orang baik. Tapi jadinya yang suka kamu itu banyak, Mas… Gimana aku nggak cemburu? Namun, sepertinya aku memang harus tahan cemburu kalau mau sama-sama kamu… -__-”

Kemarin, kamu cerita tentang sepupumu yang biasa memanggil istrinya dengan sebutan ‘Dek’. “Rasanya sayaaang banget…”, katamu. “Makanya sekarang-sekarang ini aku suka manggil kamu kayak gitu juga”, lanjutmu. Mas, Mas… Tau nggak? Kamu ngomong gitu aja aku udah seneng banget dan mukaku merah gak karuan lho…

Tapi kamu nggak mau kupanggil ‘Sayang’. Geli, katamu. Norak, pula. Selain itu, kamu bilang juga, seakan melayang dan tak memijak bumi jika aku mulai memanggilmu ‘sayang’. Dan kamu belum sanggup menahannya. Well, nggak apa-apa lah. Panggilan ‘Sayang’ itu toh tetap bisa kugunakan untuk menggodamu. Aku suka kalau kamu mulai salah tingkah dan mukamu memerah malu… *ketawa setan pelan-pelan* ๐Ÿ˜†

Mas…

Aku tau, kita baru semalam bertemu, tapi hanya dalam hitungan menit sejak punggungmu menjauh, aku sudah merasa rindu. Beberapa jam bersamamu tak pernah cukup buatku. Andai aku bisa, aku pasti sudah mengekstrakmu. Lalu, kumasukkan dalam liontin kecil untuk kuletakkan dekat jantungku.

Dua hari lalu, kau membuatku terus tersenyum. Ada bahagia yang ingin melesak keluar lewat tiap ekspresiku. Karena akhirnya kau mengungkapkan harapan-harapanmu. Bahkan, dengan ekspresi malu-malu, kau ucapkan sayang lewat lisanmu.

Namun, semalam, kau membuatku menangis. Karena cemburu dan rasa tak berdayaku. Jujur, aku belum benar-benar yakin, sebesar apa rasamu padaku. Sementara hasratku untuk selalu di dekatmu melebihi keinginanku untuk terus bernapas dan mempertahankan hidupku.

Kau memang tak segan minta maaf jika merasa ada kata atau lakumu yang menyakitiku. Tapi, asal kau tau, meski ada yang membuatku sakit, semuanya tertutupi oleh rasa sayangku padamu. Perasaan ini terlalu besar, Mas. Ia tak ragu menjajah hati serta pikiranku. Dan membuatku tersiksa jika tak juga melihatmu.

Maafkan aku yang terlanjur mengharapkanmu… Ya?

Halo, Pa. Apa kabar? Papa lagi apa di sana? Sudah bertemu Mama, Jimmy, dan Kak Fatah? Aku iri. Sementara kalian berkumpul bersama, aku mati-matian menahan sedih, sepi, dan rasa tak berdaya yang kadang masih sering datang. Aku sampai bisa tiba-tiba menangis di depan monitor, Pa. Untung aku sudah terlatih menangis tanpa suara…

Pa, maaf. Sampai saat ini, aku belum juga mendaftar kuliah. Aku terlalu sibuk berusaha terus bernapas di sini. Aku mulai menikmati pekerjaan ini, Pa. Aku mulai menikmati menjadi bagian dari sesuatu. Aku mulai menikmati kebermaknaan yang kurasakan saat berhasil menyelesaikan tugasku. Aku mulai menikmati konflik dan masalah yang kadang datang. Aku mulai menikmati kebersamaan dan kehangatan tempat ini…

Pa, aku kangen. Tapi aku nggak mau gegabah menyusul kalian. Aku mau di sini dulu. Nggak apa-apa kan, Pa?

p.s. aku sedang semacam jatuh cinta pada seseorang, Pa. aku nggak tau akhirnya, tapi sementara, ini cukup buatku.

Semalam aku tertidur dengan air mata masih menggenang di pelupuk mata. Tau apa yang paling kuinginkan saat itu? Kau. Aku ingin menatapmu lama-lama. Bukan hanya sepintas dengan sudut mata. Aku ingin mendengarmu bicara tentang apa saja. Aku ingin berada sedekat mungkin denganmu, menghirup aroma tubuhmu, dan membiarkankan jantungku berpacu lebih kuat…

Paginya, kau bilang, semalam kau tak bisa tidur. Memikirkanku. Meski tau itu rayuan paling klise dan gombalan paling biasa, tapi pipiku tetap memerah. Hatiku juga tetap bersorak. Lalu, apa aku bisa tetap bersamamu tanpa berharap apa pun?